NESIANEWS.COM – Mantan Direktur PT Bliss Pembangunan Sejahtera, Isabel Tanihaha, melalui tim kuasa hukumnya, resmi mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Sidang perdana gugatan tersebut digelar pada Senin, 17 Februari 2025. Namun, Kejati NTB memilih tidak menghadiri sidang tanpa memberikan alasan yang jelas.
Kuasa hukum Isabel Tanihaha, M. Ihwan, S.H., M.H., atau yang akrab disapa Iwan Slank, menjelaskan bahwa gugatan praperadilan diajukan karena penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama operasional (KSO) pembangunan Lombok City Center (LCC) oleh Kejati NTB dinilai tidak sah secara hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perjanjian kerjasama antara klien kami dengan PT Tripat Lombok Barat murni bersifat bisnis ke bisnis (B to B). Ini adalah kasus perdata, bukan pidana,” tegas Ihwan di hadapan wartawan usai sidang perdana, Senin (17/2/2025).
Ihwan menjelaskan, objek perjanjian KSO tersebut berupa aset seluas 8,4 hektare yang justru dijadikan penyertaan modal oleh PT Tripat berdasarkan keputusan DPRD Lombok Barat (Lobar) Nomor 7/Kep/DPRD Lobar tertanggal 7 Mei 2023, serta keputusan Bupati Lobar.
Dengan demikian, objek KSO tersebut bukan lagi milik Pemkab Lobar, melainkan menjadi milik PT Tripat.
“Klien saya menandatangani perjanjian bersama Direktur Utama PT Tripat pada 8 November 2012 di hadapan notaris Hamzan Wahyudi. Saat itu, klien saya menjabat sebagai Direktur PT Bliss Pembangunan Sejahtera,” ungkap Ihwan.
Lebih lanjut, Ihwan menyatakan bahwa PT Tripat mengajukan kredit ke Bank Sinarmas dalam posisi kerjasama KSO. Namun, kliennya tidak pernah terlibat dalam proses penyertaan modal tersebut.
Bahkan, saat proses penganggungan hingga pencairan dana di PT Bliss, kliennya sudah tidak lagi menjabat sebagai Direktur.
“Klien saya sudah bukan Direktur sejak 5 Mei 2014. Jabatan tersebut sudah beralih ke orang baru. Jadi, sangat aneh jika klien saya dijerat dalam kasus ini. Tidak ada satupun perbuatan hukum pidana yang dilanggarnya,” tegas Ihwan.
Ihwan juga menyayangkan fakta bahwa Direktur Utama PT Bliss Pembangunan Sejahtera yang baru hingga kini belum diperiksa oleh penyidik Kejati NTB. Padahal, objek yang diagunkan oleh PT Tripat adalah aset milik PT Tripat, bukan aset negara.
“Dalam perkara ini, tidak ada kewenangan administrasi di dalamnya karena perjanjian tersebut dilakukan antara badan usaha dengan badan usaha, bukan melibatkan pemerintah,” jelas Ihwan.
Ia menambahkan, kliennya justru telah menanam modal yang nilainya lebih besar dari kerugian negara sebesar Rp 38 miliar yang dituduhkan.
“Bangunan fisiknya masih ada hingga saat ini,” ucapnya.
Ihwan juga menyarankan agar jaksa penuntut umum bertindak sebagai jaksa pengacara negara, bukan sebagai penuntut umum.
“Perjanjian KSO ini seharusnya berada dalam lingkup perdata, bukan pidana,” sambungnya.
Menurut Ihwan, jika memang ada unsur tindak pidana, maka penyertaan modal oleh Bupati dan DPRD Lobar seharusnya dibatalkan.
Namun, hal tersebut belum dilakukan. Artinya, aset seluas 8,4 hektare tersebut tetap menjadi milik PT Tripat, dan instrumen hukum tidak boleh digunakan untuk menjerat seseorang dalam persaingan bisnis.
“Dalam kasus klien saya, ini adalah bentuk kriminalisasi dan ada persaingan bisnis antar perusahaan mal di dalamnya. Kami menduga ada kriminalisasi dalam persaingan bisnis. Padahal, iklim investasi harus sehat dan normal, tidak boleh ada yang mematikan,” tandas Ihwan.