NESIANEWS.COM – Sidang kasus UU ITE yang menjerat seorang aktivis di NTB, M. Fihirudin atas laporan Ketua DPRD NTB berlanjut. Sidang digelar di Pengadilan Negeri Mataram dalam agenda pemeriksaan ahli hukum pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut, Rabu, 10 Mei 2023.
Ahli pidana dari Unram, Prof. Dr. Amiruddin, SH., M.hum hadir memberikan keahlian. Dia berpendapat Pasal 28 a ayat (2) Jo Pasal 45 a ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, merupakan upaya aturan yang bersifat preventif dalam mencegah terjadinya penyebaran informasi tanpa hak melalui transaksi elektronik yang dapat menimbulkan kegaduhan, keonaran yang bermuatan SARA.
Ahli menerangkan bahwa mengenai terpenuhinya atau tidak terpenuhinya unsur pidana pada postingan tersebut merupakan hasil kajian tekstual maupun kontekstual dari ahli bahasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi apa yang dijelaskan ahli pidana sebelumnya, tergantung ahli bahasa apa yang diucapkan di persidangan, bukan sesuai BAP,” kata Amiruddin.
Prof. Amiruddin juga menerangkan bahwa DPRD secara perorangan adalah entitas, sehingga jika merujuk kepada putusan MK Nomor : 76/PUU-XV/2017, sehingga berdasarkan pemikiran pribadi ahli serta melalui penafsiran subjektif ahli atas putusan MK tersebut, dia berpendapat postingan Fihirudin telah memenuhi unsur SARA. Karena menurutnya orang-orang (anggota DPRD) dan fraksi-fraksi perwakilan partai di DPRD NTB adalah entitas.
“Kemudian apakah anggota dewan yang dimaksud ada dalam unsur SARA? Kembali lagi apa itu SARA. SARA itu adalah suku, agama, ras dan antar golongan. Kesimpulannya lembaga DPRD adalah bukan termasuk dalam SARA, yang termasuk dalam SARA yaitu anggota DPRD-nya ” jelasnya.
Ketua Tim Penasehat Hukum Fihirudin, Muhammad Ihwan SH., MH, kemudian mengingatkan ahli bahwa baik secara ilmu pengetahuan maupun normatif, tidak dikenal adanya penafsiran terhadap putusan lembaga peradilan.
“Putusan lembaga peradilan harus diartikan sesuai dengan apa yang tertulis dan terbaca, tidak ada penafsiran.” kata M. Ihwan.
M. Ihwan mencecar sejumlah pertanyaan ke ahli. Dia bertanya apakah niat jahat atau mensrea harus dibuktikan untuk menentukan adanya delik dalam suatu peristiwa hukum? Prof. Amiruddin menjawab wajib dibuktikan oleh jaksa penuntut dan harus dibantah oleh pengacara dalam persidangan.
Ahli juga ditanya unsur pasal yang menjerat terdakwa apakah pasal komulatif atau alternatif? Yang kemudian dijelaskan pasal yang mengandung unsur komulatif, sehingga harus dapat dibuktikan secara keseluruhan, jika satu unsur saja tidak terbukti maka perbuatan pidana yang didakwa tidak terbukti.
Dari penjelasan ahli, Ihwan merasa cukup yakin kliennya tidak bersalah dan tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Kuasa hukum Fihirudin lainnya, Yan Mangandar Putra menyebut bahwa kesaksian ahli sangat merusak demokrasi.
“Bagi kami, keterangan ahli pidana bisa merusak demokrasi. Bagaimana bisa sebuah pertanyaan bisa menjadi delik aduan dan menahan klien kami,” katanya. (red)